Beranda Berita Mahkamah Agung (MA) Membatalkan Kenaikan Iuran BPJS

Mahkamah Agung (MA) Membatalkan Kenaikan Iuran BPJS

0

Oleh: Abdul Aziz Nst Kabid Hikmah Fakultas Hukum UMTS

Pc. Imm Tapanuli Selatan Kota PadangSidimpuan

BHARATANEWS.ID|OPINI _ Mahkamah Agung (MA) mengabulkan permohonan uji materi terhadap Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan. Dalam putusannya, MA membatalkan kenaikan iuran peserta BPJS Kesehatan sejak 1 Januari 2020.

Kenaikan itu ditetapkan lewat Pasal 34 ayat 1 dan 2 Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan dan diteken Presiden Joko Widodo pada 24 Oktober 2019. Gayung pun bersambu. Majelis hakim ternyata menganggap kedua ayat di Perpres ini bertentangan dengan sejumlah pasal di tiga Undang-Undang (UU) sekaligus, UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), UU BPJS, dan UU Kesehatan.

Walhasil, iuran BPJS Kesehatan yang berlaku sejak 1 Januari 2020 lalu dinyatakan batal dan tidak berlaku. Rinciannya yaitu Rp 42 ribu untuk peserta Kelas III, Rp 110 ribu untuk Kelas II, dan Rp 160 ribu Kelas I. Sehingga, iuran yang berlaku kembali merujuk pada aturan sebelumnya yaitu Perpres 82 Tahun 2018, dengan rincian: Rp 25.500 Kelas III, Rp 51 ribu Kelas II, dan Rp 80 ribu Kelas I.

Pihak BPJS Kesehatan sama sekali belum menerima salinan putusan MA. Sehingga, pihaknya belum bisa berkomentar banyak. Tapi apabila hasil konfirmasi (putusan MA) sudah didapat, kata dia, maka BPJS akan langsung berkoordinasi dengan kementerian terkait.

Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara tak luput jadi sasaran untuk dimintai pendapat. Usai menutup acara diskusi publik di kantornya Senin petang lalu, ia mengaku belum bisa berkomentar panjang.

Kementerian Keuangan selama ini merupakan pihak yang mendukung kenaikan iuran ini demi menutupi defisit keuangan di BPJS Kesehatan. “Kami dalami dulu keputusan tersebut dan apa saja implikasinya,” ucapnya.

Suahasil juga kembali menjelaskan bahwa tahun lalu, BPJS Kesehatan tercatat masih mengalami defisit keuangan. Pemerintah telah mencoba menambal kekurangan dengan suntikan dana dari APBN. Namun, masalah defisit tak kunjung selesai. Sehingga, dipilihlah opsi kenaikan iuran.

“Jadi sebenarnya, kenaikan itu adalah untuk menambal defisit,” kata dia.

Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris sebelumnya memperkirakan bahwa defisit program JKN pada tahun 2019 mencapai Rp 16 triliun. Prediksi itu disampaikan Fachmi dalam rapat dengar pendapat bersama Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Pengawas BPJS Kesehatan, Dewan Jaminan Sosial Nasional, dan Menteri Kesehatan, di Gedung DPR, pada pertengahan Desember 2019.

Fachmi menjelaskan terdapat potensi surplus segmen PBI yang akan dialokasikan untuk pembayaran klaim rumah sakit. Pembayaran klaim menjadi prioritas karena akan terdapat carry over defisit dari tahun ini ke 2020.

“Surplus (segmen PBI) akan digunakan terlebih dahulu untuk membayar klaim rumah sakit, klaim carry over, karena masih ada carry over ke tahun depan. Proyeksinya (defisit) itu Rp 16 triliun,” ujarnya

Proyeksi tersebut lebih rendah dibandingkan dengan perkiraan awal. BPJS Kesehatan memproyeksikan defisit 2019 dapat menyentuh Rp 32,89 triliun jika kenaikan iuran tidak berlaku.

Di luar pemerintah, beberapa pihak juga menyoroti putusan MA ini. Guru besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Hasbullah Thabrany, misalnya mempertanyakan putusan MA ini.

“MA itu hakimnya memahami dengan benar apa enggak. Ini urusan ekonomi, diputuskan secara hukum,” kata dia.

Pasalnya, kata Hasbullah, kenaikan iuran yang diberlakukan pemerintah sudah sesuai dengan UU SJSN. Menurut dia, UU tersebut memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk menyesuaikan iuran secara berkala.

Di sisi lain, iuran BPJS di Indonesia rata-rata sebenarnya hanya Rp 37 ribu per orang per bulan, jauh lebih rendah dari negara lain.

Untuk itu, Hasbullah berharap ada penjelasan lengkap dari MA, mengapa Perpres 75 Tahun 2019 dianggap melanggar UU. Ia berharap ada pertimbangan dan argumentasi lengkap dari BPJS mengenai hal ini.

“Jangan-jangan hakimnya memang tidak memahami,” kata dia.

Kini sudah dua hari sudah berselang. Tapi, BPJS belum kunjung menerima salinan putusan MA. Sehingga, iuran peserta pun masih mengacu pada nominal baru di Perpres 75 Tahun 2019. Akan tetapi, kata Iqbal, Deputi Hukum BPJS Kesehatan sudah mulai berkoordinasi dengan sejumlah pihak terkait.

Tak jauh berbeda, Dewan Pengawas atau Dewas BPJS Kesehatan pun juga belum menerima salinan putusan MA secara resmi. Namun demikian, Dewan berjanji akan ikut mempelajari dan membahas putusan ini untuk memberikan saran dan pertimbangan kepada direksi BPJS.

“Sesuai tugas Dewas berdasarkan UU BPJS,” kata Ketua Dewas BPJS Chairul Radjab Nasution.

Meski demikian, Iqbal menyebut BPJS sudah mengambil ancang-ancang dengan menyiapkan skema alternatif untuk menjaga keberlangsungan layanan. Jika iuran tetap kembali ke nominal yang lama, maka dua cara kemungkinan akan ditempuh. Pertama dengan menata rujukan dari fasilitas kesehatan tingkat pertama ke rumah sakit.

“Diketatkan dengan sistem IT,” kata dia.

Kedua dengan memperketat aturan sanksi bagi peserta mandiri yang menunggak iuran. Menurut Iqbal, pihaknya ingin meningkatkan auto-debit peserta mandiri dalam membayar iuran.

Aturan sanksi ini sebenarnya sudah tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2013. Namun, perlu ada aturan teknis dan bantuan kementerian dan lembaga pemerintah lain.

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengikuti Rapat Kerja (Raker) dengan Komisi XI DPR RI di Kompleks Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu, 21 Agustus 2019. Rapat kerja tersebut membahas pengesahan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU Bea Materai dan BPJS Kesehatan.

Sementara itu, Hasbullah juga menyarankan pemerintah menambah dana bantuan kepada BPJS lewat Perpres baru, menggantikan Perpres 75 Tahun 2019 yang dibatalkan MA.

Ia menyarankan pemerintah untuk memperluas penikmat subsidi BPJS, tak hanya peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI), tapi juga peserta mandiri.

Hasbullah membandingkannya dengan subsidi BBM yang dilakukan pemerintah setiap tahun. Padahal, BBM bukanlah kebutuhan primer seperti kesehatan. Subsidi BBM pun, kata dia, juga masih dinikmati masyarakat yang tidak sepatutnya menerima.

“Subsidi BBM bisa, kenapa subsidi JKN tidak bisa?” kata dia.

Jika upaya ini tidak dilakukan, Hasbullah khawatir BPJS Kesehatan akan semakin “kurus” dan “kering” akibat menderita defisit terus-terusan. “Uangnya (bantuan pemerintah) ada, tinggal masalah mau atau tidak mau,” kata dia.

Di tengah riuh masalah ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan Presiden Jokowi sudah mengetahui putusan MA tersebut. Ia juga memastikan bakal ada langkah-langkah pemerintah untuk menjaga keberlangsungan BPJS Kesehatan.

“Kami berharap masyarakat tahu ini konsekuensinya besar terhadap JKN (Jaminan Kesehatan Nasional). Karena kalau bicara ekosistem, tidak mungkin satu sistem dicabut, sisanya pikirin sendiri. Kami lihat secara penuh,” kata dia di Gedung Marie Muhammad, Jakarta, Selasa, 10 Maret 2020.

Apapun mekanisme yang akan diputuskan pemerintah saat memasuki babak baru usai putusan MA itu, Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga KeuPTangan Indonesia atau YLKI Tulus Abadi wanti-wanti agar kualitas pelayanan medis tak dikurangi. “YLKI mengkhawatirkan pembatalan kenaikan iuran ini berdampak terhadap reduksi pelayanan pada pasien,” ucapnya.

Memberikan Komentar anda