Beranda Berita Utama Ketika Harapan dan Acaman Berdampingan di Pesisir Wangel

Ketika Harapan dan Acaman Berdampingan di Pesisir Wangel

0
Sumber foto : Instagram @mazni_20

BHARATANEWS.ID|KEPULAUAN ARU – Di bawah terik siang anak-anak lelaki berusia belasan tahun perang spirtus. Cairan jenis etanol itu digunakan sebagai bahan bakar bak mesiu yang kemudian diletuskan melalui bumbung seperti meriam. Suaranya memecahkan keheningan kampung Nagari Adat Wangel nan damai. Meski seolah memekakan telinga, namun suara-suara itu justru yang dinantikan warga desa setiap tahunnya. Ledakan-ledakan spirtus dari dalam tabung sepanjang satu meter dari susunan kaleng susu bekas itu menjadi tradisi sekaligus pertanda bahwa hari raya akan segera tiba.

Tak jauh dari sana, Petu Yansen (56) menjemur rumput laut (seaweed) hasil panen di pesisir Desa Wangel, Kecamatan Pulau-Pulau Aru, Kepulauan Aru, Maluku, Sabtu (16/11). Yansen yang dibantu keempat anaknya yakni Ika, Oan, Esy dan Empy mulai membudidayakan rumput laut sejak dua bulan terakhir bersama lima warga lainnya.

Petani rumput laut sebenarnya bukan pekerjaan utama Yansen. Sehari-harinya, penduduk asli Dobo itu menggantungkan hidup kepada nyiur-nyiur yang tumbuh subur di Desa Wangel. Pohon kelapa atau nyiur itu selalu menghasilkan kopra yang bermutu tinggi sepanjang tahun.

Alih-alih Yansen istirahat sejenak dari kopra mengingat harga jual rumput laut yang sudah dikeringkan bisa mencapai 15-20 ribu rupiah per kilogram, artinya lebih tinggi jika dibanding kopra dengan harga jual Rp 3500 per kilo kering. Rata-rata Yansen bisa mengantongi sekitar 4,5-6 juta setiap bulan dari hasil penjualan rumput laut kering tersebut.

Rumput laut kering dijual kepada pedagang berdarah Tiongkok yang membuka lapak di Dobo. Rumput laut kering itu kemudian akan didistrubusikan ke Surabaya sebagai bahan baku makanan instan dan produk lainnya.

Bicara soal rumput laut yang tumbuh subur di pesisir pantai, selain bernilai ekonomis, kelompok vegetasi yang dikenal sebagai alga/ganggang itu juga dapat berfungsi sebagai penahan ombak dan arus bawah air pantai. Di samping itu, alga yang biasa diolah menjadi bahan utama agar-agar itu juga sebagai tempat berlindung dan mencari makan untuk anak-anak ikan serta kepiting karang.

Adapun tantangan dan risiko yang harus dihadapi Yansen dan keempat anaknya hanyalah jika ada angin barat dan pantai dengan lalulintas perahu atau kapal motor lainnya. Akan tetapi Yansen sudah belajar dari dua hal itu sehingga ia lebih tahu kapan, bagaimana serta di mana tempat yang cocok untuk mendulang keuntungan dari alam.

Tak jauh dari tempat Yansen membudidayakan rumput laut, beberapa warga dari kota terus menambang pasir pantai sebagai bahan bangunan. Praktik penambangan pasir itu sudah ada sejak tahun 1997. Titus (56) warga desa Wangel bersaksi bahwa daratan dan pantai semakin habis. Air laut mulai mendekat permukiman warga di sepanjang garis pantai Desa Wangel. Tanggul desa penahan ombak sudah dibangun, namun hancur karena abrasi pantai. Beberapa pohon nyiur sebagai sabuk pantai alami pun tumbang di sana-sini setelah terkikis air laut dan semakin hilangnya daratan pantai akibat tambang pasir.

Titus dan warga lain seakan hanya bisa pasrah ketika laut terus menggerogoti daratan. Tak ada harapan lain selain menanti waktunya tiba atas perubahan alam seperti yang sudah terjadi dari tahun ke tahun. Kepulauan Aru memang tak memiliki sumber pasir yang bisa ditambang karena bukan daerah yang memiliki potensi vulkanik. Oleh karena itu, banyak warga yang lebih memilih menggunakan pasir pantai, kendati kekuatannya tidak sebaik pasir hasil aktivitas vulkanik.

Bupati Kabupaten Kepulauan Aru, Johan Gonga sudah mengingatkan kepada warga agar tidak menambang pasir pantai karena hal itu bisa merusak lingkungan dan mendatangkan ancaman bencana alam. Bupati yang juga merupakan seorang dokter itu juga meminta agar warganya turut serta menjaga lingkungan untuk keberlangsungan generasi penerus bangsa.

“Jangan ambil pasir di pantai. Jangan karena kepentingan sesaat, lalu kita jadi serakah dan merusak alam. Ingat anak cucu kita bisa jadi korban ke depannya. Kita bisa cegah. Kita orang ini punya risiko bencana. Kita orang harus bisa jaga kita punya lingkungan. Jika lingkungan kita bisa jaga, maka kita akan dilindungi alam,” seru Bupati Johan.

Pak Yansen dan para penambang pasir adalah contoh manusia yang memanfaatkan alam sebagai mata pencaharian mereka. Namun dua hal tersebut sangat bertolak belakang satu sama lain.

Bilamana selain membudidaya, Yansen beserta lima warga desa Wangel lainnya juga sekaligus turut menjaga lingkungan dengan usaha yang dilakukan, maka berbeda dengan para penambang pasir. Mereka akan terus mengambil apa yang diberikan oleh alam tanpa tahu kapan semua itu akan serta-merta menghabisi apa yang ada di Nagari Adat Wangel nan penuh kedamaian. Harapan dan ancaman adalah dua hal yang berbeda namun terlihat dekat berdampingan di pesisir Wangel. Sebagai bahan renungan, apa yang menjadi baik untuk ke depannya teruslah kita jaga demi keutuhan alam, sebagaimana dengan “Kita Jaga Alam, Alam Jaga Kita”. (**)

Memberikan Komentar anda