Beranda OPINI Revisi UU Narkotika Harus Komprehensif Atasi Masalah Berulang Aparat Korup di Kebijakan...

Revisi UU Narkotika Harus Komprehensif Atasi Masalah Berulang Aparat Korup di Kebijakan Narkotika

0

BHARATANEWS.ID | JAKARTA – Pada 11 Agusutus 2022, Bareskrim Polri menangkap Kepala Satuan (Kasat) Narkoba Polres Karawang dikarenakan kasus peredaran gelap Narkotika. Kasat Narkoba tersebut diketahui pernah menjadi pemasok Narkotika ke tempat tempat hiburan di Bandung.

Sebagai catatan mendasar, bahwa kasus keterlibatan Polisi pada peredaran gelap Narkotika, bukan pertama kali terjadi. Bahkan Kompolnas telah mengamini berulangnya praktik ini. Kasus-kasus serupa tercatat terjadi sepanjang 2022.

Setiap bulannya dilaporkan ada kasus keterlibatan polisi dalam peredaran gelap Narkotika, dimana polisi menjadi pihak yang bertugas “melindungi” bandar Narkotika. Pada Januari 2022, 11 Polisi di Polres Tanjungbalai terlibat dalam peredaran 19 kilogram sabu.

Pada Februari 2022, seorang anggota Polisi di Polres Jeneponto ditangkap karena ketika bertugas pada tahanan dan titipan barang bukti, justru melakukan peredaran Narkotika. Pada Maret 2022, Ipda YR, anggota Polres Rokan Hilir ditangkap saat berperan sebagai penjemut 5 kg Sabu. Pada Juni 2022, anggota polisi Ditresnarkoba Polda Maluku ditangkap karena mengedarkan Narkotika. Pada Juli 2022, Aipda EY, anggota Polres Siak ditangkap saat membawa 50 kg.

Tidak hanya dalam kasus peredaran gelap, pada Mei 2022 lalu, Ferdy Sambo yang kala itu masih menjadi Kadiv Propam menyatakan melakukan pembinaan dan pelatihan terhadap 136 anggota Polri yang dilakukan sebagai penyalahguna Narkotika.

JRKN mengingkatkan bahwa ada yang salah dalam tata kelola Narkotika serta kebijakan yang memayunginya yaitu dalam UU No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika. Norma dalam UU tersebut problematik, nir-perspektif, juga sangat rentan menjadi transaksional. “Borok” paling terlihat adalah pendekatan pemidanaan bagi pengguna narkotika yang masih diberlakukan dalam UU tersebut.

UU tersebut diawal menjelaskan bahwa terdapat jaminan pengguna Narkotika memperoleh intervensi kesehatan berupa rehabilitasi medis dan/atau rehabilitasi sosial, namun justru jaminan rehabilitasi ini menjadi primadona transaksional yang mengarah menjadi “mesin ATM” bagi aparat nakal.

Pengguna Narkotika tetap dibayang-bayangi penghukuman, dengan adanya kontradiksi Pasal 111, 112, 114 Vs. Pasal 127. Sedangkan untuk mendapatkan rehabilitasi, pengguna Narkotika “bergantung” pada aparat, yang membuka ruang munculnya aparat korup dan menguras tersangka/terdakwa kasus Narkotika.

Project Multatuli pada awal Agustus 2022 mengeluarkan seri pertama laporannya untuk pemerasan kasus Narkotika dimana ditemukan praktik dimana pengguna Narkotika ditawarkan praktik “86” atau membayar untuk perkaranya dihentikan, hingga rehabilitasi berbayar yang nilainya tak berstandar.

Belum lagi masalah fair trial dalam kasus Narkotika. Berulang kali terjadi kasus penjebakan dimana polisilah yang menginisiasi terjadinya kasus Narkotika dengan merekayasa adanya penguasaan Narkotika pada seseorang tanpa ada niat orang tersebut. Kemudian, tata kelola barang bukti sitaan Narkotika juga amburadul dalam implementasi.

Pasal 91 mengamanatkan bahwa Kepala Kejaksaan yang mengeluarkan penetapan pemusnahan barang bukti Narkotika yang disita, namun dalam Pasal 18 Perkap No. 8 tahun 2021, justru penyidik dapat melakukan pemusnahan Narkotika tersebut tanpa keterlibatan lembaga lain. Praktik hukum acara UU Narkotika sama sekali tidak transaparan/tidak akuntabel dan terlanjur hancur dalam implementasi.

Kompolnas menyatakan bahwa permasalahan ini dikarenakan sistem pengawasan internal polisi yang bermasalah. Akan tetapi, JRKN justru menekankan bahwa tak hanya pengawasan internal yang bermasalah, kebijakan Narkotika ini sendiri yang harus dirombak.

Titik tekan masalah ini terletak pada salahnya pendekatan yang digunakan dalam UU Narkotika bagi penggunaan Narkotika. Dengan narasi war on drugs yang kemudian didukung oleh ketentuan hukum yang bermasalah, alhasil yang terjadi adalah perang terhadap pengguna Narkotika, sementara pelakunya tak jarang adalah aparat yang memanfaatkan sistem yang sama sekali tidak akuntabel.

Harusnya sedari awal kebijakan Narkotika dibuat dengan perspektif kesehatan masyarakat dan secara tegas dan komprehensif mengatur bahwa intervensi bagi pengguna Narkotika adalah intervensi kesehatan, tanpa bayang-bayang kriminalisasi yang justru “diperdagangkan”.

Skema ini yang diperkenalkan JRKN dalam proses revisi UU Narkotika. Bahwa pengguna Narkotika harus merupakan subjek dari proses intervensi kesehatan, yang mana menjadi domain tenaga kesehatan, misalnya di pusat layanan kesehatan masyarakat. Bukan justru menjadi “objek” aparat penegak hukum yang “didukung” oleh ketentuan hukum yang amburadul.

Sebagai catatan lanjutan juga, dengan pendekatan pemidanaan bagi pengguna narkotika, maka negara kehilangan kesempatan untuk mengatur tata kelola narkotika, yang justru diuntungkan adalah aparat korup yang didukung oleh sistem yang hancur dan menyerap keuntungan yang sangat merugikan negara termasuk mencederai institusi aparat penegak hukum itu sendiri.

Hal ini menandakan pentingnya pemerintah dan DPR membahas tentang opsi adanya pasar teregulasi narkotika. Mau tidak mau ada penggunaan narkotika yang harus disediakan aksesnya, maka negara harus mengatur tata kelolanya secara ketat, tidak justru menyerahkan peredaran pada pasar gelap yang didukung aparat korup.

Sehingga, yang harusnya didorong dalam proses revisi UU Narkotika yang saat ini dibahas oleh Pemerintah dan DPR adalah menegaskan skema dekriminalisasi pengguna Narkotika, menjamin hilangnya faktor-faktor pendorong terjadinya lubang transaksional dalam UU Narkotika.

Hal ini dapat dilakukan dengan memperbaiki ketentuan pidana, menjamin intervensi kesehatan langsung bagi pengguna Narkotika untuk kepentingan pribadi tanpa adanya keterlibatan aparat penegak hukum dan menjamin hukum acara pidana yang akuntabel, dengan pengawasan bertingkat, setiap upaya paksa harus diuji pengadilan untuk adanya check and balance.

Sayangnya, dalam draft revisi UU Narkotika yang telah dikirimkan pemerintah dan DPR pada awal 2022, ternyata masih belum menggambarkan ada upaya komprehensif untuk mengatasi amburadulnya kebijakan Narkotika. Hal ini terlihat dengan tidak adanya rekomendasi untuk memperbaiki ketentuan pidana bermasalah dalam Pasal 111, 112, 114 UU Narkotika saat ini.

Atas hal ini, maka celah transaksional dalam UU Narkotika juga belum berusaha dihapuskan. Skema rehabilitasi juga masih bergantung pada penilaian aparat penegak hukum, bukan pada assessment kesehatan, sehingga pendekatan kesehatan masyarakat belum dikedepankan. Selain itu pengaturan hukum acara soal penjebakan, control delivery, undercover buy dan penangkapan yang eksesif dan minim pengawasan tidak sama sekali diperbaiki.

Publik benar-benar sudah lelah melihat masalah nyata kebijakan Narkotika yang terus dimanfaatkan aparat korup yang memeras orang lemah. Bahkan keterlibatan aparat pada peredaran gelap narkotika hingga ke aparat tingkat tinggi.

JRKN benar-benar menanti komitmen nyata pemerintah dan DPR dalam revisi UU Narkotika. Kami menyerukan revisi UU Narkotika harus menjamin bahwa pengguna Narkotika tidak menjadi subjek peradilan pidana, ketentuan pidana harus diperbaiki, kewenangan menyita dan memusnahkan barang sitaan Narkotika harus akuntabel, kewenangan upaya paksa penangkapan, control delivery dan undercover buy harus diawasi oleh hakim dan pemerintah dan DPR mengkaji bagaimana menghadirkan pasar teregulasi narkotika. Kami benar-benar menanti sikap kritis DPR terhadap draft yang dibuat oleh pemerintah tersebut!.

Sumber Rilis : Jaringan Reformasi Kebijakan Narkotika (JRKN)

 

Memberikan Komentar anda