Beranda Berita Utama Moral Penegak Hukum, Oleh : La Ode Muhram Naadu

Moral Penegak Hukum, Oleh : La Ode Muhram Naadu

0

BHARATANEWS.ID|OPINI – Merenungi jejak penegakan hukum di negeri ini, merupakan suatu kontemplasi yang berpotensi membuat kita mengernyitkan kening turut menyesakkan dada. Getir duka dan luka untuk kaum miskin yang berhadapan dengan hukum sudah menjadi santapan lumrah diperjalanan bangsa ini dalam mengejar arah cita falsafahnya. Melenceng berlawanan dengan arah idealnya atas sila ke lima yang berbunyi “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”

Dimana-mana, pemberitaan media, ditetangga kita, bahkan orang di rumah kita sendiri, sering mengalami suatu ketidakadilan hukum. Mulai dari pidana ringan, hingga extra ordinary crime. Hukum di Negara ini terlihat seperti tak berideologi Pancasila lagi. Cenderung tertarik ke kutub materialistik, dimana uang, kepentingan, kekuasaan menjadi penentu atas keberpihakan hukum. Hingga adil menjadi kata lain dari deal kepada penegak hukum.

Tak berlebihan jikalau ideologi Pancasila sebagai jiwa hukum kini mulai menjadi pepesan kosong. Keadilan Sosial tak lebih dari angan – angan. Irah – irah “Demi Keadilan berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa” hanya sebagai simbolitas, rentetan aksara yang melabeli justifikasi keadilan oleh oknum – oknum Penegak Hukum kita yang tak bermoral. Pasal – pasal pun dijadikan komoditi, keadilan terlalu rumit untuk ditegakkan dan tak ada orang lain yang keji untuk berwenang melakukan itu selain Penegak Hukum itu sendiri. Yah, Penegak Hukum.

Penegak Hukum

Dalam peraturan perundang – undangan di Indonesia tidak disebutkan defenisi Lembaga Penegak Hukum, Penegak Hukum. Jadi, tidak bisa direstriktifkan sempit sebatas pemahaman umum-lumrah pada oknum di Criminal Justice System, yakni polisi, jaksa, dan hakim saja. Penegak Hukum tidak terbatas pada orang – orang yang berkecimpung dalam profesi advokat, oknum di lembaga Kepolisian, KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), Mahkamah Agung, Komisi Yudisial, Otoritas Jasa Keuangan, Badan Pengawas Pasar Modal, Direktorat Jenderal Imigrasi, Kejaksaan, serta Satpol PP. Penegak Hukum adalah aparat yang melaksanakan proses upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Oleh Satjipto Rahardjo, idealnya penegak hukum adalah orang – orang yang putih bersih (squeaky clean), yang menjalankan tugasnya memang atas dasar panggilan jiwa. Penegak Hukum mesti berdiri diatas modalitas moral yang mesti selalu diperkuat. Modalitas moral tersebut adalah empati, kejujuran, komitmen, dan keberanian. Dalam ajaran Hukum Progresifnya ini, ia memang mengangkat faktor manusia-penegak hukum sebagai faktor utama dalam jalannya hukum. Tentu manusianya, sebab manusia itu sendiri yang mampu membentuk-mempola-merubah system dan membangun kultur hukum yang baik. Sebagaimana secara fungsional hukum itu berlaku, menurut L.Friedman.

Dalam kewenangan Penegak Hukum, ruang menegakan hukum berbasis moralitas diatas sebenarnya telah tersedia, sebagaimana cara berhukum tidak hanya menggunakan rasio, melainkan juga dengan sarat kenuranian (compassion). Disinilah pintu masuk bagi sekalian modalitas seperti empati, kejujuran, komitmen, dan keberanian. Dengan demikian berbicara mengenai Penegakan Hukum dapat dikait-eratkan dengan soal moralitas dan nurani pengadilan (conscience of the court), nurani kejaksaan, nurani advokat, dan sebagainya. Kesepakatan kita adalah ditangan Penegak hukum yang baik hukum yang buruk pun akan menjadi baik. Sebab hukum hanyalah rentetan benda mati aksara yang diterjemahkan oleh nurani Penegak Hukum.

Dalam menggunakan rasio, penegak hukum tak bermoral sering bersembunyi dengan mendefenisikan pasal – pasal dalam kungkungan postivisme. Apa kata pasal itulah hukum yang adil menurut mereka. Padahal, kutub pemikiran positivisme yang kokoh digawangi oleh Hans Kelsen bermuara pada basis moralitas itu sendiri. Bangunan pasal – pasal adalah cerminan yang direkonstruksikan berdasar perilaku masyarakat yang dibiasakan hingga menjadi norma sosial. Norma sosial itulah yang disebut moral yang berada dalam ruang kognisi dan presepsi masyarakat. Bagaimanapun pasal – pasal adalah kristalisasi dari moral yang mesti ditegakan dengan muatan moral pula. Ia disusun dalam kondisional, namun semestinya diterjemahkan situasional. Jadi sebenarnya, tidak ada jalan untuk menegakan hukum dengan cara amoral.

Modal Moralitas 

Dalam menegakan hukum, Penegak Hukum membutuhkan basis moralitas yang tinggi. Penegak Hukum tidak akan mampu menegakan hukum dengan baik jika basis moralitasnya rendah. Meminjam skema peta moralitas dari Kohlberg, adapun gejala moralitas rendah Penegak Hukum kita selama ini dapat diidentifikasi menjadi beberapa jenis, yakni ; moralitas takut dihukum, moralitas takut rugi, dan moralitas demi sekaum.

Moralitas Takut Dihukum, yaitu penegakan hukum karena orientasinya hanya soal bagaimana menghindari hukuman. Jika resiko dihukum sangat kecil maka ia akan bertindak apasaja, tanpa perduli apakah hal itu boleh tidak boleh. Contohnya, sebuah penanganan kasus cenderung jalan ditempat, dan jika mendapat perhatian bin sorotan publik, maka akan terjadi penanganan yang diakserlerasi. Singkatnya, akan jalan karena takut dicela publik. Moralitas seperti ini sangat lumrah di kasus besar yang menyedot kerugian Negara, juga kasus yang menimpa orang kecil yang awam hukum.

Moralitas Takut Rugi, yaitu orientasinya hanya hitung – hitungan bagi diri sendiri. Nilai moral ini sifatnya instrumental. Hanya sebagai alat untuk mencapai keuntungan dan kenikmatan. Ada dorongan imbal-balik yang didasarkan perhitungan. Contohnya, Seorang Penegak Hukum yang membongkar suatu mafia yang melibatkan dirinya, karena jatah yang diberikan padanya tidak sesuai. Ia menegakan hukum karena takut rugi. Ketaatan hukumnya bukan pada pertimbangan kemaslahatan umum, tapi karena pertimbangan untung rugi diri sendiri.

Moralitas Demi Sekaum, yaitu orientasinya berpusat pada kepentingan suatu kaum yang menguntungkan dirinya. Prioritasnya adalah orang yang paling dekat dan menguntungkan bagi Penegak Hukum itu sendiri. Loyalitas pada kelompok yang berbuah pada nepotisme juga primodialisme. Contoh dari hal ini adalah penegak hukum yang dipengaruhi oleh iming-iming materialistik. Atau singkatnya, orang saya didiamkan, orang lain diporses.

Tiga gejala moralitas rendah Penegak Hukum diatas merupakan tantangan umum dalam penegakan hukum di Indonesia ini. Diluar itu mungkin ada pola lain. Bagaimanapun, disadari bahwa dalam menegakan hukum, dinamika yang terjadi begitu ekstrem. Ada berbagai macam gejolak yang dapat memberangus nurani ditengah resistensi manusiawi Penegak Hukum itu sendiri. Sulit namun suatu kebaikan yang luar biasa jikalau menjadi manusia yang lolos dari gejolak tersebut. Diluar dari manajemen pengawasan-pembinaan Penegak Hukum itu sendiri, benteng dari gejolak tersebut sejatinya bermuara pada kecerdasan spiritual, perenungan yang dalam akan keamanahan yang dianugerahkan oleh Tuhan. Sesingkat-singkatnya merenungi sumpah jabatan.
Jika direnungi, dalam Islam, perintah untuk menegakan hukum seadil – adilnya banyak ditemukan dalam berbagai ayat. Salah satunya berbunyi “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu yang benar-benar menegakan keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu.” (Q.S 4 : 135). Diluar ayat ini, Al-Quran mengulangi kata adil dan akar katanya sekitar 30 kali.

Bagaimanapun Penegak Hukum adalah orang – orang pilihan, yang diberi tanggungjawab, ditakdirkan oleh Tuhan untuk menegakan hukum dengan seadil-adilnya. Kekuatan besar yang ada pada mereka berkonsekuensi tanggungjawab besar yang diemban. Ditangan penegak hukum yang tak bermoral baik, hukum adalah alat yang jahat. Sangat jahat. Dogma hukum yang selama ini dipahami netral dan tidak memihak itu selayaknya diruntuhkan. Upaya Hans Kelsen dalam membebaskan keadilan dari hukum sungguh tercermin atas realita kekinian.

Hukum bukanlah keadilan dan keadilan bukanlah hukum. Keadilan adalah tujuan dan hukum adalah alatnya. Mengidentikan hukum dan keadilan adalah tendensi berpikir politis, bukan berpikir akademis. Karena itu, hukum dalam kenyataannya dapat menjadi penindas yang semena-mena dan buas (instrumen criminis) jikalau digunakan oleh Penegak Hukum yang tak bermoral.

Tak akan ada keadilan dari Penegak Hukum yang tak bermoral baik. Membicarakan keadilan memang terlalui puitis dan rigid. Namun membicarakan keadilan dari mulut penegak hukum yang bermoral akan terlihat kejernihannya. Jernih dan menyegarkan. Bak oase ditengah padang tandus yang luas. Pertanyaannya, kenapa diibaratkan bak oase ditengah padang tandus yang luas? Yah, karena hari ini Penegak Hukum yang bermoral baik bak oase, hanya sedikit diantara padang Penegak Hukum yang tak bermoral. Spesial, jarang dan menyejukkan. Sedikit yang selalu merenungi sesingkat-singkatnya sumpah jabatannya. Sungguh terlalu.

Penulis adalah Alumni Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo

Memberikan Komentar anda